Puisi 'Aku' karya Cairil Anwar menjadi tonggak bagi bentuk dan semangat puisi Angkatan 45. Sebelum memublikasikan melaui cetakan, Chairil Anwar terlebih dahulu membacakan Puisi Aku di Pusat Kebudayaan Jakarta pada 1943.
Puisi Hampa Chairil Anwar Puisi Hampa Chairil Anwar Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memagut, Jumat, 23 Oktober 2020 0454 Puisi Hampa Chairil Anwar - Puisi Hampa Chairil Anwar Hampa Sepi di luar. Sepi menekan kaku pohonan. Tak bergerakSampai ke puncak. Sepi memagut,Tak satu kuasa melepas-renggutSegala menanti. Menanti. ini menanti jadi mencekikMemberat-mencekung pundaSampai binasa segala. Belum apa-apaUdara bertuba. Setan bertempikIni sepi terus ada. Dan menanti. *
Puisi "Kesabaran" karya Chairil Anwar adalah karya sastra yang menggambarkan perasaan kesulitan dan ketidakpuasan seseorang terhadap dunia dan keadaannya. Dalam puisi ini, Chairil Anwar menyampaikan pesan tentang ketidakmampuan untuk mengubah situasi dan perasaan terhimpit oleh tekanan hidup.
Analisis Puisi Hampa Karya Chairil Anwar HAMPA Chairil Anwar Kepada Sri Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memangut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti. Sepi. Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencekung pundak Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti. Tema puisi ini yaitu penggambaran rasa kesepian dan penantian Chairil Anwar terhadap wanita yang ia cintai. Puisi ini terdiri dari 12 larik. Kepada Sri Chairil Anwar mengawali puisinya dengan larik Kepada Sri, yang artinya puisi tersebut ia tunjukkan ia berbicara kepada Sri, wanita yang ia cintai. Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Larik tersebut menunjukkan ungkapan rasa sepi Chairil Anwar atas penantiaannya terhadap wanita yang ia cintai , hingga rasa sepi itu sangat menyiksa batinnya. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Rasa kesepian itu membuat Chairil Anwar bagaikan pohon yang tak bergerak. Hampa, kosong, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai ke puncak. Sepi memangut, Larik tersebut menggambarkan kesepian yang dirasakan Chairil Anwar sampai pada puncaknya, tak terbendung, ia tak kuasa menahannya. Tak satu kuasa melepas-renggut Namun kesepian itu tak membuat Chairil Anwar melepaskan cintanya kepada Sri, tak ada satu pun yang mampu merenggut cintanya. Segala menanti. Menanti. Menanti. Pada larik ini, terjadi pengulangan kata menanti. Menanti. Menanti, yang berarti, Chairil Anwar akan terus menanti/menunggu pujaan hatinya itu. Sepi. Chairil Anwar merasa sendiri, sepi tak ada yang menemani. Tambah ini menanti jadi mencekik Penantian cintanya itu justru membuat Chairil Anwar makin merasa tersiksa, batinnya tertekan, dan hatinya begitu sakit. Memberat-mencekung pundak Beban yang Chairil Anwar rasakan akibat penantian itu, sangat berat dirasakannya. Sampai binasa segala. Belum apa-apa Chairil Anwar merasakan hatinya sampai pada rasa sakit dan hancur teramat sangat, namun ia belum juga mendapat jawaban dari penantiannya tersebut. Udara bertuba. Setan bertempik Suasana sekitar yang dirasakan Chairil Anwar begitu penat, ia merasakan hatinya menjerit-jerit, sehingga membuat ia semakin tak kuasa menahan penantiannya itu. Ini sepi terus ada. Dan menanti. Kesepian yang Chairil Anwar rasakan memang terus ada, namun meski begitu, ia akan selalu tetap menanti Sri, pujaan hatinya. Diksi atau pemilihan kata yang digunakan Chairil Anwar dalam mengungkapkan perasaannya pada puisi di atas, menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif, seperti pada larik Lurus kaku pohonan. Tak bergerak, Memberat-mencekung pundak, dan Udara bertuba. Setan bertempik. Sehingga pembaca harus memaknai lebih lanjut apa maksud dari puisi tersebut. Keseluruhan puisi, didominasi oleh kata sepi, terbukti pada larik Sepi di luar. Sepi menekan mendesak, yang berarti Chairil Anwar tertekan karena kesepian yang dirasakannya. Imaji dalam puisi ini, Chairil Anwar menggambarkan atau melukiskan perasaan kesepiannya yang ditimbulkan dalam bentuk imaji perasaan, terbukti pada larik Ini sepi terus ada. Dan menanti, yang berarti meski merasa sepi, namun ia akan terus menanti. Nada dalam puisi ini menunjukkan kesedihan disertai rasa kesal karena kesepian Chairil Anwar terhadap penantiannya, terbukti pada larik-larik Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memangut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti. Majas atau gaya bahasa yang digunakan yaitu Paralelisme Segala menanti. Menanti. Menanti, Sepi di luar. Sepi menekan mendesak, Ini sepi terus ada. Dan menanti. Pengulangan kata sepi dan menanti, memberi penegasan bahwa Chairil Anwar sangat kesepian, namun meski sepi, ia akan terus menanti pujaan hatinya. Personifikasi Lurus kaku pohonan. Tak bergerak. Kata pohonan disini seakan-akan makhluk hidup yang memiliki rasa kaku. Hiperbola Udara bertuba. Setan bertempik. Menggunakan kata setan, yang terkesan berlebihan. Rima atau persamaan bunyi pada konsonan “K” dan “T” Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memangut, Tak satu kuasa melepas-renggut .......... Tambah ini menanti jadi mencekik .......... Udara bertuba. Setan bertempik Amanat yang terkandung dalam puisi ini yaitu, jangan membuat orang lain menanti sesuatu yang tidak pasti, karena hal itu dapat memberikan rasa tidak nyaman. Bacalah puisi di bawah ini! KARAWANG-BEKASI. Kami yang terbaring antara. Karawang-Bekasi. Tidak bisa teriak “Merdeka” dan. Angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, Terbayang kami maju dan. Mendegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi . Jika dada rasa hampa dan jam. Dinding yang berdetak. Kami
Puisi Hampa... Karya Chairil Anwar Hampa Versi Deru Campur Debukepada Sri Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti. Sepi. Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencekung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putuskepada Sri yang selalu sangsiSepi di luar, sepi menekan-mendesakLurus-kaku pohonan. Tak bergerakSampai ke puncakSepi memagutTak suatu kuasa-berani melepas diriSegala menanti. ini menanti penghabisan mencekikMemberat-mencengkung pundaUdara bertubaRontok-gugur segala. Setan bertempikIni sepi terus ada. Menanti. Menanti. Maret, 1943Puisi HampaKarya Chairil AnwarBiodata Chairil AnwarChairil Anwar lahir di Medan, pada tanggal 26 Juli Anwar meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 28 April 1949 pada usia 26 tahun.Chairil Anwar adalah salah satu Sastrawan Angkatan 45.
Beranda» Karya Sastra » Puisi » PUISI-PUISI CHAIRIL ANWAR. PUISI-PUISI CHAIRIL ANWAR. Kamis, 28/04/2011 - 19:33 — ombi. Puisi | Puisi Chairil Anwar | Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Makassar - Chairil Anwar adalah seorang penyair besar pada masa perjuangan kemerdekaan RI. Sejumlah karyanya menunjukkan rasa cintanya terhadap tanah Chairil Anwar pada tanah air dan bangsa Indonesia dituangkan dalam sajak-sajaknya. Karya tersebut diantaranya Diponegoro, Krawang-Bekasi, dan Persetujuan Dengan Bung puisi Chairil Anwar tentang kemerdekaan ini, kemudian banyak digunakan pada pertunjukan dalam rangka memperingati HUT RI. Seperti pada lomba-lomba pembacaan puisi, syair dan sebagainya. Berikut 3 puisi Chairil Anwar tentang kemerdekaan yang dikutip detikSulsel dari Repositori Kemdikbud berjudul "Chairil Anwar"Persetujuan dengan Bung KarnoAyo Bung Karno kasih tangan,Mari kita bikin janjiAku sudah cukup lama dengan bicaramu,dipanggang di atas apimu, digarami oleh lautmuDari mulai tanggal 17 Agustus 1945Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimuAku sekarang api aku sekarang lautBung Karno, Kau dan aku satu zat satu uratDi zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayarDi uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan masa pembangunan iniTuan hidup kembaliDan bara kagum menjadi apiDi depan sekali tuan menantiTak gentar. Lawan banyaknya seratus kaliPedang di kanan, keris di kiriBerselubung semangat yang tak bisa matiMajuIni barisan tak bergenderang berpaluKepercayaan tanda menyerbuSekali beraniSudah itu NegeriMenyediakan apiPunah di atas menghambaBinasa di atas tiadaSungguhpun dalam ajal baru tercapaiMajuSerbuSerangTerjangKrawang-BekasiKami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasitidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,terbayang kami maju dan mendegap hati?Kami bicara padamu dalam hening di malam sepiJika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi kenanglah sudah coba apa yang kami bisaTapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawaKami cuma tulang-tulang berserakanTapi adalah kepunyaanmuKaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakanAtau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapanatau tidak untuk apa-apa,Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkataKaulah sekarang yang berkataKami bicara padamu dalam hening di malam sepiJika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKenang, kenanglah kamiTeruskan, teruskan jiwa kamiMenjaga Bung KarnoMenjaga Bung HattaMenjaga Bung SjahrirKami sekarang mayatBerikan kami artiBerjagalah terus di garis batas pernyataan dan impianKenang, kenanglah kamiyang tinggal tulang-tulang diliputi debuBeribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi Simak Video "Lukman Sardi Terbawa Emosi Saat Bacakan Karya Puisi Chairil Anwar" [GambasVideo 20detik] alk/nvl Jawaban yang benar adalah tidak bisa berbuat apa-apa. Denotasi merupakan makna kata yang didasarkan atas sesuatu yang sebenarnya terjadi. Makna kata kaku pada puisi Hampa karya Chairil Anwar adalah tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa kesepian yang ia rasakan, membuatnya bagaikan pohon yang tak bergerak. Hampa, kosong, dan ia tidak bisa berbuat apa
Menyajikan kumpulan puisi karya Chairil Anwar, Si Binatang Jalang yang menolak dilupakan. Umur Chairil Anwar memang tak lama, namun keinginannya untuk hidup seribu tahun lagi sepertinya akan terlaksana melalui karya-karyanya yang abadi sampai sekarang, dan mungkin seribu tahun lagi. Pukul setengah tiga sore, 28 April 1949, Chairil meninggal di usia muda akibat mengidap sejumlah penyakit. Untuk mengenang karya-karyanya, hari kematiannya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Meski telah lama berpulang, pada Juni 2007 ia masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bogor DKB Award 2007 untuk kategori seniman sastra yang diterima oleh puterinya, Evawani Elissa Chairil Anwar. Baca juga Kumpulan Puisi Wiji Thukul yang Tak Lekang Oleh Waktu Mengenang Karya-Karyanya yang Melegenda Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan sebagai pelopor Angkatan 45 dan puisi modern Indonesia oleh Jassin. Karya-karyanya begitu berpengaruh pada berkembangnya puisi kontemporer di Indonesia. Diperkirakan ada 96 karya termasuk 70 puisi yang telah ia ciptakan semasa hidupnya yang cuma 27 tahun itu. Hampir semua karyanya merujuk pada kematian seolah ia telah menyadari akan mati muda seperti yang dikemukakan oleh kritikus sastra indonesia asal Belanda, A. Teeuw. Kebanyakan dari karya-karyanya tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhirnya berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, sedangkan puisinya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang-Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga dijiplak, dikompilasi dalam tiga buah buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat Deru Campur Debu 1949, Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus 1949, dan Tiga Menguak Takdir 1950. Inilah kumpulan puisi karya Chairil Anwar paling populer dan menginspirasi. Baca juga Kumpulan Puisi Pendek dari Para Penyair Terkenal yang Menginspirasi 1. Aku2. Diponegoro3. Krawang-Bekasi4. Sia-Sia5. Derai-Derai Cemara6. Senja di Pelabuhan Kecil7. Doa8. Tak Sepadan9. Di Mesjid10. Persetujuan dengan Bung Karno11. Cintaku Jauh di Pulau12. Cinta dan Benci13. Sajak Putih14. Selamat Tinggal15. Sebuah Kamar16. Rumahku17. Kepada Peminta-minta18. Prajurit Jaga Malam19. Yang Terampas dan Yang Terputus20. Cerita Buat Dien Tamaela21. Hampa22. Kawanku dan Aku23. Kepada Kawan24. Lagu Siul25. Tuti Artic26. Puisi Kehidupan27. Nisan 1. Aku Aku Kalau sampai waktuku Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Maret 1943 2. Diponegoro Diponegoro Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api. Punah di atas menghamba Binasa di atas ditindas Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai. Maju. Serbu. Serang. terjang Februari 1943 3. Krawang-Bekasi Krawang-Bekasi Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan berdegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa, Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir Kami sekarang mayat Berikan kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi 4. Sia-Sia Sia-Sia Penghabisan kali itu kau datang membawaku karangan kembang Mawar merah dan melati putih darah dan suci Kau tebarkan depanku serta pandang yang memastikan Untukmu. Sudah itu kita sama termangu Saling bertanya Apakah ini? Cinta? Keduanya tak mengerti. Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri. Ah! Hatiku yang tak mau memberi Mampus kau dikoyak-koyak sepi. 5. Derai-Derai Cemara Derai-Derai Cemara Cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam Aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini Hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah 6. Senja di Pelabuhan Kecil Senja di Pelabuhan Kecil Kepada Sri Ajati Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempar, sedu penghabisan bisa terdekap 7. Doa Doa Kepada pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namamu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling 8. Tak Sepadan Tak Sepadan Aku kira Beginilah nanti jadinya Kau kimpoi, beranak dan berbahagia Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros. Dikutuk-sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta Tak satu juga pinti terbuka. Jadi baik juga kita pahami Unggunan api ini Karena kau tidak kan apa-apa Aku terpanggang tinggak rangka. Februari 1943 9. Di Mesjid Di Mesjid Kuseru saja Dia Sehingga datang juga Kami pun bermuka-muka. Seterusnya Ia Bernyala-nyala dalam dada. Segala daya memadamkannya Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda Ini ruang Gelanggang kami berperang. Binasa-membinasa Satu menista lain gila 10. Persetujuan dengan Bung Karno Persetujuan dengan Bung Karno Ayo! Bung Karno kasih tangan, mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengan bicaramu Dipanggang di atas apimu, digarami lautmu Dari mulai 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api, Aku sekarang laut Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu, di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu, di uratku kapal-kapal kita betolak dan berlabuh 11. Cintaku Jauh di Pulau Cintaku Jauh di Pulau Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar. angin membantu, laut tenang, tapi terasa aku tidak akan sampai padanya. Di air yang tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata “Tujukan perahu ke pangkuanku saja.” Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh! Perahu yang bersama kan merapuh! Mengapa ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau, kalau kumati, dia mati iseng sendiri. 12. Cinta dan Benci Cinta dan Benci Aku tidak pernah mengerti Banyak orang menghembuskan cinta dan benci Dalam satu napas Tapi sekarang aku tahu Bahwa cinta dan benci adalah saudara Yang membodohi kita, memisahkan kita Sekarang aku tahu bahwa Cinta harus siap merasakan sakit Cinta harus siap untuk kehilangan Cinta harus siap untuk terluka Cinta harus siap untuk membenci Karena itu hanya cinta yang sungguh-sungguh mengizinkan kita Untuk mengatur semua emosi dalam perasaan Setiap emosi jatuh… Keluarlah cinta Sekarang aku mengetahui implikasi dari cinta Cinta tidak berasal dari hati Tapi cinta berasal dari jiwa Dari zat dasar manusia Ya, aku senang telah mencintai Karena dengan melakukan itu aku merasa hidup Dan tidak ada orang yang dapat merebutnya dariku 13. Sajak Putih Sajak Putih Bersandar pada tari warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi Malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita mati datang tidak membelah 14. Selamat Tinggal Selamat Tinggal Ini muka penuh luka Siapa punya? Kudengar seru menderu Dalam hatiku Apa hanya angin lalu? Lagi lain pula Menggelepar tengah malam buta Ah..!!! Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal..!!! Selamat tinggal…!! 15. Sebuah Kamar Sebuah Kamar Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu. “Sudah lima anak bernyawa di sini, Aku salah satunya!” Ibuku tertidur dalam tersendu, Keramaian penjara sepi selalu, Bapakku sendiri terbaring jemu Matanya menatap orang tersalib di batu! Sekeliling dunia bunuh diri! Aku minta adik lagi pada Ibu dan bapakku, karena mereka berada di luar hitungan Kamar begini, 3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa! 16. Rumahku Rumahku Rumahku dari unggun timbun sajak Kaca jernih dari luar segala nampak Kulari dari gedong lebar halaman Aku tersesat tak dapat jalan Kemah kudirikan ketika senja kala Di pagi terbang entah ke mana Rumahku dari unggun timbun sajak Di sini aku berbini dan beranak Rasanya lama lagi Tapi datangnya datang Aku tidak lagi meraih petang Biar berleleran kata manis madu Jika menagih yang satu 17. Kepada Peminta-minta Kepada Peminta-minta Baik, baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku Jangan lagi kau bercerita Sudah tercacar semua di muka Nanah meleleh dari muka Sambil berjalan kau usap juga Bersuara tiap kau melangkah Mengerang tiap kau memandang Menetes dari suasana kau datang Sembarang kau merebah Mengganggu dalam mimpiku Menghempas aku di bumi keras Di bibirku terasa pedas Mengaum di telingaku Baik, baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku 18. Prajurit Jaga Malam Prajurit Jaga Malam Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu? Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini Aku suka pada mereka yang berani hidup Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu… Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu! 19. Yang Terampas dan Yang Terputus Yang Terampas dan Yang Terputus kelam dan angin lalu mempesiang diriku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu di Karet, di Karet daerahku sampai juga deru dingin aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu; tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku 20. Cerita Buat Dien Tamaela Cerita Buat Dien Tamaela Beta Pattiradjawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu. Beta Pattiradjawane Kikisan laut Berdarah laut. Beta Pattiradjawane Ketika lahir dibawakan Datu dayung sampan. Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala. Beta api di pantai. Siapa mendekat Tiga kali menyebut beta punya nama. Dalam sunyi malam ganggang menari Menurut beta punya tifa, Pohon pala, badan perawan jadi Hidup sampai pagi tiba. Mari menari! mari beria! mari berlupa! Awas jangan bikin beta marah Beta bikin pala mati, gadis kaku beta kirim datu-datu! Beta ada di malam, ada di siang Irama ganggang dan api membakar pulau…. Beta Pattiradjawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu. 1946 21. Hampa Hampa Kepada sri Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti. Sepi. Tambah ini menanti jadi mencekik… Memberat-mencekung punda… Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti. 22. Kawanku dan Aku Kawanku dan Aku Kami sama pejalan larut Menembus kabut Hujan mengucur badan Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat Siapa berkata-kata…? Kawanku hanya rangka saja Karena dera mengelucak tenaga Dia bertanya jam berapa? Sudah larut sekali Hilang tenggelam segala makna Dan gerak tak punya arti. 23. Kepada Kawan Kepada Kawan Sebelum ajal mendekat dan menghianat Mencengkam dari belakang ketika kita tidak melihat Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam Layar merah berkibar hilang dalam kelam Kawan, mari kita putuskan kini di sini Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri Jadi Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan Tembus jelajah dunia ini dan balikkan Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu Pilih kuda yang paling liar, pacu laju Jangan tembatkan pada siang dan malam Dan Hancurkan lagi apa yang kau perbuat Hilang sonder pusaka, sonder kerabat Tidak minta ampun atas segala dosa Tidak memberi pamit siapa saja Jadi Mari kita putuskan sekali lagi Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi Sekali lagi kawan, sebaris lagi Tikamkan pedangmu hingga ke hulu Pada siapa yang mengairi kemurnian madu…!! 24. Lagu Siul Lagu Siul Laron pada mati Terbakar di sumbu lampu Aku juga menemu Ajal di cerlang caya matamu Heran! ini badan yang selama berjaga Habis hangus di api matamu Ku kayak tidak tahu saja. II Aku kira Beginilah nanti jadinya Kau kawin, beranak dan berbahagia Sedang aku mengembara serupa Ahasveros Dikutuk-sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta, Tak satu juga pintu terbuka. Jadi baik kita padami Unggunan api ini Karena kau tidak kan apa-apa, Aku terpanggang tinggal rangka 25 November 1945 25. Tuti Artic Tuti Artic Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga, Adikku yang lagi keenakan menjilati es artic; Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola. Isteriku dalam latihan kita hentikan jam berdetik. Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa – ketika kita bersepeda kuantar kau pulang – Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara, Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang. Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar; Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu Sorga hanya permainan sebentar. Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar, Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. 1947 26. Puisi Kehidupan Puisi Kehidupan Hari hari lewat, pelan tapi pasti Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru Karena aku akan membuka lembaran baru Untuk sisa jatah umurku yang baru Daun gugur satu-satu Semua terjadi karena ijin Allah Umurku bertambah satu-satu Semua terjadi karena ijin Allah Tapi… coba aku tengok kebelakang Ternyata aku masih banyak berhutang Ya, berhutang pada diriku Karena ibadahku masih pas-pasan Kuraba dahiku Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk Kutimbang keinginanku…. Hmm… masih lebih besar duniawiku Ya Allah Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan? Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan? Masihkah aku diberi kesempatan? Ya Allah…. Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku Astagfirullah… Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah… Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang… Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu… Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana… Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana… Ya Allah, Ijikanlah 27. Nisan Nisan Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridhaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu di atas debu Dan duka maha tuan tak bertahta. *** Baca juga Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono Paling Menyentuh Sebenarnya masih banyak lagi kumpulan puisi karya Chairil Anwar yang tetap melegenda, namun tentu halaman ini tak akan sanggup menampung seluruh karya-karyanya. Maka kita pilih 27 puisi untuk memancing inspirasi… Semoga terinspirasi!
Dalam puisi "Kepada Peminta-minta" karya Chairil Anwar bahasa figuratif yang muncul yaitu pada baris ke 4 dan 21. Merupakan majas hiperbola yang bersifat berlebih-lebihan. Muncul majas hiperbola dari kata nanti darahku jadi beku. Selain itu pula muncul majas repetisi pada baris 1 dan 18.
Puisi Hampa Karya Chairil Anwar Apakah kamu sedang mencari puisi Chairil Anwar yang berjudul Hampa? Tepat sekali karena kali ini kami akan menyajikannya bagi kamu yang sedang mencarinya. Tapi, sebelumnya alangkah baiknya jika kita sedikit mengulas dulu siapa sih Chairil Anwar tersebut? Chairil Anwar merupakan seorang penyair yang terkemuka di Indonesia. Beliau adalah penyair yang lahir di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta, pada tanggal 28 April 1949. Chairil Anwar diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Dimana, salah satu puisinya adalah “Hampa” yang akan kami sajikan pada kesempatan sekarang. Adapun puisi Chairil Anwar yang berjudul Hampa adalah berikut ini. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - HAMPA Karya Chairil Anwar Kepada Sri Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai di puncak. Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti Sepi Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencengkung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Demikian yang bisa kami sajikan berkaitan dengan Puisi Karya Chairil Anwar - Hampa. Semoga bermanfaat!!! Salam, Anlisis Puisi Hampa: 1. Diksi (Pilihan Kata) Pilihan kata yang digunakan sipenyair dalam menungkpkan perasaannya dalam puisinya yang menggunakan kata yang bersifat konotatif karena banyak mengandung arti dan yang mewakili keseluruhan puisi yaitu terdapat pada kata "sepi", terbukti pada : "Sepi diluar menekan mendesak". 2.
Dalam dunia sastra, tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan kritik sastra. Tapi sebelum itu, tahukah kamu apa itu kritik sastra? Suratno dkk 2010 15 mengatakan bahwa kritik sastra adalah studi tentang keilmuan yang berupaya menentukan nilai hakiki suatu karya sastra dalam bentuk memberi pujian, menyatakan kesalahan, memberikan pertimbangan pemahaman deskriftif, pendefinisian, penggolongan, penguaraian atau analisis penafsiaran, dan penilain sastra secara sistematis dan terpola dengan metode tertentu. Pradopo 1994 juga mengatakan bahwa kritik sastra adalah ilmu sastra untuk “menghakimi” karya sastra, untuk memberikan penilaian, dan memberikan keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra yang sedang dihadapi kritikus. Selain itu, Pradotokusumo 2005 menjelaskan bahwa kritik sastra dapat didefinisikan sebagai salah satu objek studi sastra cabang sastra yang menganalisis, menafsirkan, dan mengevaluasi teks isi sastra sebagai karya seni. Berdasarkan penjelasan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra adalah studi tentang keilmuan yang berupaya menentukan nilai hakiki suatu karya sastra dalam bentuk evaluasi seperti memberi pujian dan menyatakan kesalahan. KEMBALI KE ARTIKEL
Hubungan intertekstual ini terdapat pada “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” karya Archibald MacLeish dengan sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar. C. PEMBAHASAN 1. Analisis struktural 2. Diksi atau pemilihan kata Diksi atau pemilihan kata yang digunakan dalam sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar yakni: KRAWANG-BEKASI
HAMPA Sepi di luar. Sepi menekan kaku pohonan. Tak bergerakSampai ke puncak. Sepi memagut,Tak satu kuasa melepas-renggutSegala menanti. Menanti. ini menanti jadi mencekikMemberat-mencekung pundaSampai binasa segala. Belum apa-apaUdara bertuba. Setan bertempikIni sepi terus ada. Dan Chairil Anwar A. Unsur Intrinsik Tema Puisi diatas mengangkat tema yang sudah sangat lazim di masyarakat sehingga kita sebagai pembaca tidak kesulitan dalam mengartikan arti tema tersebut. Karena biasanya bila tema puisi mudah diterima easy accepting dimasyarakat itu akan membawa minat pembaca itu sendiri untuk meneruskan membaca isi puisi tersebut atau tidak. Pemilihan Kata Diksi Pada puisi diatas sang penyair menggunakan bahasa kesehariannya. Sehingga kita mudah mengartikan maksud dari puisi tersebut. Dengan intonasi yang tepat maka kita akan bisa mengerti makna dari isi puisi tersebut. Meskipun pada puisi Chairil Anwar diatas tidak semuanya menggunakan kata yang tepat tepat sesuai KBBI cotontoh pada kata “pohonan” yang harus nya “pepohonan”. Perasaan Di dalam puisi diatas sangat tergambar bahwa penyair merasa kesepian dalam penantian seseorang yang sangat berarti untuknya. Di suasana hati yang sangat merasa kesepian dia hanya bias menanti dan menanti sampai datang nya sang pujaan hati. Nada dan Suasana a NadaDidalam puisi diatas penyair menggunakan nada-nada yang lugas dan tepat dan menggunakan penekanan-penekanan di beberapa kata yang ditunjukkan untuk memperjelas maksud dari puisi SuasanaSuasana yang tergambar dari puisi diatas adalah suasana yang tak menentu gundah gulana menantikan seseorang yang sangat kita nantikan namun tak kunjung memberikan kepastian. Bahasa Figuratif Majas Didalam puisi “ Hampa “ Chairil Anwar menggunakan banyak sekali majas hiperbola berlebih-lebihan . Contoh nya “ ini menanti jadi mencekik. Memberat-mencekung punda,sampai binasa segala” yang artinya dalam kesepian dia menunggu sampai membungkukkan pundaknya sampai tak sanggup lagi menanti. Amanat Amanat dalam puisi ini adalah tentang kesetiaan seseorang yang menunggu orang yang dia sayangi , meskipun lelah dan merasa tak sanggup lagi namun kita harus tetap percaya bahwa semua hal akan indah pada Unsur Ekstrinsik Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Puisi Nilai Kasih sayang kerinduan si penyair akan kehadiran seorang wanita yang di idam-idamkan membuatnya merasakan hampa dalam hidupnya Biografi Penyair Chairil Anwar dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" dari karyanya yang berjudul Aku, adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia sekarang Jakarta dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang Anwar dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis. Orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orang Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School HIS, sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs MULO. Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia sekarang Jakarta dimana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti Rainer Maria Rilke, Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan kecil di Medan, Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedihBukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta pisah. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi lama setelah itu, pukul WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik. Makna dari puisi di atas •Bait pertama, larik pertama puisi HAMPA diawali dengan kata sepi’, yang kemudian kata sepi’ini ternyata menjadi kata kunci berikutnya. Pada bait pertama kata sepi’ menguasai isi tubuh puisi. Menggambarkan bagaimana kekosongan perasaan Chairil saat itu, seperti yang sudah jelas terlukis sejak penjudulan puisi, HAMPA. Sepi di luar. Sepi menekan-mendesakLurus kaku pepohonan. Tak bergerakSampai ke puncak . Sepi memagut,Tak satu kuasa melepas-renggut Larik-larik di atas menggambarkan suasana sepi yang teramat sangat. Sepi yang tadinya hanya di luar sampai masuk hingga menekan, mendesak ke dalam, seakan teramat besar dan berat sepi itu. Bahkan sepi yang teramat sangat itu digambarkan Chairil hingga pepohonan saja tidak bergerak sedikit pun, sampai ke puncak pohon. Tidak ada angin semilir yang bisa membuat suara gesekan daun. Keadaan teramat sepi. Hingga sepi itu memagut, seakan menggigit atau memeluk dengan erat dan tak satu pun yang kuasa untuk terhindar dari sepi itu atau bahkan menolong seseorang untuk terhindar dari sepi itu. Segala menanti. Menanti. MenantiSepi. Larik di atas bisa menggambarkan bentuk kekesalan Chairil atas penantian-penantian yang dilakukannya terhadap wanita yang dimaksudnya dalam puisi ini. Dan juga bisa menunjukkan keputus-asaan Chairil dengan perasaannya, yang akhirnya hanya akan berujung pada sepi. Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencengkung pundak Lewat larik di atas, Chairil merasakan sebuah penantian atas wanitanya yang semakin lama semakin membuat perasaannya sulit. Memberatkan pikirannya, menjadi beban bagi dirinya seperti ada beban di pundak yang sangat berat, hingga pundak mencengkung menahan beban itu. Sampai binasa segala. Belum apa-apa Larik di atas seolah mengungkapkan, akibat terlalu sulitnya perasaan yang Chairil rasakan, dan hanya sepi yang menjadi jawaban, maka perasaan itu menjadi binasa, putus asa, kosong, hampa. Belum ada hasil yang ia dapati dari rasanya pada sang wanita, entah itu rasa ingin memiliki, atau sekadar kerinduan, namun kehampaan yang teramat yang ia rasakan, membuat segala harapan seakan binasa. Udara bertuba. Setan bertempikIni sepi terus ada. Dan tiadaUdara bertuba. Setan bertempik Menggambarkan suasana yang sudah sangat tidak nyaman. Udara seakan menjadi penuh racun, sesak, dan setan-setan bersorak riuh, berteriak, membuat suasana semakin kacau. Seakan menjadi gelap. Keadaan hampa yang digambarkan Chairil begitu dalam, sunyi, dan suram. Ini sepi terus ada. Dan tiada – sepi itu tak kunjung hilang, bahkan Chairil berpikir, hidupnya memang terkukung sepi, sepi itu terus ada hingga menjadi kebiasaan, dan seakan tiada sepi. Karena memang sepi sudah menjadi bagian darinya. Seperti sudah pasrah keseluruhan analisis tubuh puisi HAMPA, jelas puisi ini menggambarkan sebuah kedukaan perasaan seseorang yang tertimpa sepi dalam segala penantiannya. Kekosongan hatinya yang ia rasakan begitu sangat, dan terlebih ketika ia teringat pada wanita yang disukainya. Seakan kehampaan itu semakin menjadi-jadi karena tidak bisa memiliki wanita itu. Bisa jadi, seperti menggambarkan juga tentang cinta sepihak. Dan pada akhirnya ia hanya akan menjadi biasa dengan sepi yang terus ada puisi HAMPA ini, Chairil begitu dalam menggambarkan bentuk kesepian, kehampaan yang ia rasakan. Bentuk kerinduan yang sunyi terhadap Sri. Dan perlu diketahui, memang saat menulis puisi ini, Chairil sedang menaruh hati pada Sri. SHARE TO » Analisis Makna Puisi Kerawang Bekasi Karya Chairil Anwar. April 28, 2022 Posting Komentar. Puisi. Kami yang kini terbaring antara Karawang – Bekasi. Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami.
HAMPA Puisi karya Chairil Anwar kepada Sri yang selalu sangsi Sepi di luar, sepi menekan-mendesak Lurus kaku pohonan. Tidak bergerak Sampai ke puncak Sepi memagut Tak suatu kuasa-berani melepas diri Segala menanti. Menanti-menanti. Sepi. Dan ini menanti penghabisan mencekik Memberat-mencengkung punda Udara bertuba Rontok-gugur segala. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti Maret 1943
.
  • 4wnrs0zhaw.pages.dev/489
  • 4wnrs0zhaw.pages.dev/64
  • 4wnrs0zhaw.pages.dev/375
  • 4wnrs0zhaw.pages.dev/159
  • 4wnrs0zhaw.pages.dev/268
  • 4wnrs0zhaw.pages.dev/367
  • 4wnrs0zhaw.pages.dev/57
  • 4wnrs0zhaw.pages.dev/292
  • puisi hampa karya chairil anwar